Mencermati problematika sampah dan ikhtiar penyelesaiannya oleh
pemerintah maupun masyarakat nampak terdapat keraguan ketika hendak
memulai aksi serta merealisasi investasinya. Beberapa pertanyaan sering
muncul misalnya:
Sebagai jawaban atas itu, bacaan berikut ( dan di dalam artikelnya juga terdapat link penjelasan) semoga menjadi referensi,
INILAH, Bandung - Pemerintah Kabupaten Bandung diminta memisahkan pengelolaan sampah antara tempat komersial dan kawasan publik. Hal itu dinilai akan mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan sampah yang ternyata makin tidak murah dan memerlukan keseriusan dalam penanganannya.
1. apakah sebaiknya olah sampah di sumber, desentralisasi, atau lebih baik di pusatkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ?
2. metoda pemusnahan manakah yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia ? banyaknya pilihan dan penawaran mulai mesin kompos, gasifikasi, pirolisis, RDF, biodigester maupun insenerator ?
3. berapa patokan nilai investasi per satuan berat pemusnahan sampah yang wajar ?
4. kapan memulai pengelolaan sampah dilakukan ? karena dengan tetap menyerahkan guna diangkut oleh otoritas Dinas Kebersihan Pemerintah Kota/ Kabupaten juga tidak ada sangsi ?
Sebagai jawaban atas itu, bacaan berikut ( dan di dalam artikelnya juga terdapat link penjelasan) semoga menjadi referensi,
INILAH, Bandung - Pemerintah Kabupaten Bandung diminta memisahkan pengelolaan sampah antara tempat komersial dan kawasan publik. Hal itu dinilai akan mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan sampah yang ternyata makin tidak murah dan memerlukan keseriusan dalam penanganannya.
Aktivis lingkungan yang fokus terhadap
pengelolaan sampah, Sonson Garsoni mengatakan, selama ini
Pemkab Bandung belum melakukan pemisahan kewajiban pengelolaan sampah.
Sehingga, semua beban pengelolaan sampah menumpuk di pemerintah.
Padahal, kata dia, jika merujuk pada Undang-Undang No 18 tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, di sana disebutkan bahwa tempat komersial diwajibkan melakukan
pengelolaan sampahnya sendiri. Dengan begitu, tanggung jawab pemerintah
tersisa pada pengelolaan sampah yang berada di ruang-ruang publik seperti jalan
dan ruang publik serta pemukiman warga.
"Di Kabupaten Bandung itu tempat-tempat
komersial seperti pabrik, hotel, restoran, pasar, dan permukiman elit atau real
estate belum melakukan kewajibannya dalam pengelolaan sampah. Ini tinggal
pengimplementasian UU saja, dan ditekankan dengan mengeluarkan Perda dan Surat
Edaran (SE) Bupati, agar mereka mengelola sendiri sampahnya," kata Son
Son, Kamis (23/6/2016).
Sonson
mencontohkan, jika di sebuah pabrik dengan jumlah pegawai sekitar 5.000 orang,
maka per hari paling tidak akan memproduksi sampah sekitar 1 ton. Jumlah
tersebut tentu tidak sedikit, apalagi di Kabupaten Bandung terdapat ribuan
pabrik. Begitu juga dengan tempat komersial lainnya. Seperti pusat
perbelanjaan, hotel, restoran, pasar dan permukiman elit.
![]() |
Mesin Gasifikasi Pemusnah Sampah kering dan Plastik, http://www.kencanaonline.com |
"Kalau saja UU tentang pengelolaan sampah
ini diterapkan secara maksimal seperti yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta,
tentu beban pemerintah daerah akan jauh berkurang. Karena bebannya hanya
tersisa pada publik area dan permukiman saja," ujarnya.
Namun sayangnya, lanjut dia, penegakan UU No 18
tahun 2008 belum diterapkan secara maksimal. Sehingga, beban pengelolaan sampah
tetap berada di pemerintah daerah. Padahal, biaya yang harus dikeluarkan untuk
pengelolaan sampah itu tidaklah sedikit.
Tuntaskan sampah di sumbernya
Berdasarkan hasil kajian BPPT, investasi untuk
pengelolaan sampah yang maksimal melalui pengolahan dengan pembakaran
(incenerator) kapasitas 1000 ton/ hari di TPA memerlukan biaya investasi sekitar
Rp1,3 triliun. Lalu untuk pengelolaannya, diperlukan biaya Rp400 ribu untuk
setiap ton sampah yang ditangani.
"Permasalahan sampah ini dirasakan oleh
semua daerah di Bandung Raya. Apalagi semuanya mengandalkan pembuangan ke TPA yang lokasinya jauh.
Tentu ini memerlukan biaya transportasi karena jaraknya jauh, lalu ditambah
biaya pengolahan. Ini menjadi sangat mahal dan jadi beban pemerintah
daerah," katanya.
Seharusnya, kata dia, Pemkab Bandung mengoptimalkan upayapengelolaan sampah dengan metode Reuse, Reduce, dan Recyle (3R). Sehingga,
sampah yang dihasilkan masyarakat habis di tempat munculnya sampah. Pada
akhirnya akan mencapai pada zero waste atau sampah yang habis 100% di tempat
munculnya.
"Tapi pengelolaan sampah dengan 3R itu harus dilakukan secara masif dan dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Karena yang ada sekarang dan dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat itu masih sporadis dan tidak terpadu dengan instansi terkait," katanya.
Padahal, kata Sonson, pengelolaan sampah dengan metode 3R bisa menghemat anggaran pemerintah. Sekaligus membangun kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan mengelola lingkungannya. "Apalagi nanti kalau TPA Legoknangka diNagreg itu sudah dioperasikan, itu akan menimbulkan biaya yang tidak sedikit untuk transportasinya karena jarak yang jauh. Belum lagi kemacetan bisa menghambat waktu. Jadi alangkah baiknya jika pemerintah menekankan pengelolaan sampah dengan metode 3R yang dilakukan secara masif dan sungguh-sungguh," ujarnya.
Berdasarkan pantauan INILAH, tumpukan sampah
dengan mudah ditemukan di beberapa titik Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar di
sepanjang Jalan Raya Terusan Al Fathu Soreang. Sampah berceceran di tepi jalan
itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga sekitar. Bahkan sesekali
terlihat pengendara motor dengan bebasnya melemparkan sampah di tempat
tersebut.
"Tapi pengelolaan sampah dengan 3R itu harus dilakukan secara masif dan dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Karena yang ada sekarang dan dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat itu masih sporadis dan tidak terpadu dengan instansi terkait," katanya.
Padahal, kata Sonson, pengelolaan sampah dengan metode 3R bisa menghemat anggaran pemerintah. Sekaligus membangun kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan mengelola lingkungannya. "Apalagi nanti kalau TPA Legoknangka diNagreg itu sudah dioperasikan, itu akan menimbulkan biaya yang tidak sedikit untuk transportasinya karena jarak yang jauh. Belum lagi kemacetan bisa menghambat waktu. Jadi alangkah baiknya jika pemerintah menekankan pengelolaan sampah dengan metode 3R yang dilakukan secara masif dan sungguh-sungguh," ujarnya.
TPST Sampah Skala Kawasan |
"Sebenarnya kami juga tidak mau buang sampah di pinggir jalan, tapi karena enggak ada TPS terpaksa dibuang di pinggir jalan. Seharusnya pemerintah juga bisa menyediakan TPS dan pengangkutan sampah dengan jadwal yang jelas. Kalau sekarang, kita disuruh tidak buang sampah sembarangan, tapi tempat untuk membuang yang benarnya enggak tersedia," kata Hendia (30), salah seorang penggendara motor yang biasa membuang sampah di tepi Jalan Raya Terusan Al Fathu Soreang. [hus], naskah asli, Inilah.Com
saya selalu mengikuti tulisan anda,bagus dan menginspirasi,terimakasih
BalasHapusTerimakasih pak Afrizal Abdi, semoga jadi bahan pembuatan keputusan bahwa pengelolaan sampah sejatinya dilakukan oleh semua perusahaan, korporasi dan penimbul sampah itu sendiri
BalasHapus