27 Juni, 2016 - 06:00
Gede H. Cahyana
Lektor Kepala Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan
BATAL sudah hasil tender projek PLTSa yang dimenangi
PT BRIL. Hasil ini disampaikan dalam sidang KPPU (Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha) Jumat, 24 Juni 2016. Anulir tersebut disebabkan oleh
indikasi persekongkolan dalam tender yang melibatkan pemerintah kota,
panitia lelang, PT BRIL dan PD Kebersihan. Sejumlah tokoh pegiat
lingkungan menyambut gembira hasil tersebut yang disertai dengan rasa
waswas. Sebab, pembatalan projek bakar-sampah itu tidak sertamerta
meniadakan rencana pembangunan PLTSa. Berita "PR", Minggu (26/6/2016)
malah menyebutkan projek itu diteruskan. Peluangnya masih berkembang,
bahkan bertumbuh, tidak mati otomatis. Ada asumsi, skenario yang dibuat
adalah batal demi hukum untuk tindak lanjut berupa tender ulang. Boleh
jadi pemenangnya adalah perusahaan yang sama tetapi “bajunya” berbeda,
apabila diamati fenomena selama kurun waktu persidangan.
Tak hanya masalah finansial dan biaya operasi – perawatan, tetapi juga karena alasan teknis teknologis. Belum lagi kajian komposisi dan karakteristik sampah Bandung yang mayoritas berbahan organik dan sangat basah dalam makna harfiah. Dengan landasan komposisi dan karakteristik ini maka penanganan yang cocok ialah konversi sampah menjadi pupuk berbasis kegiatan di sumber sampah, yaitu rumah tangga, TPS (TPS3R), TPST. Dipahami bahwa jauh lebih banyak warga yang tidak memilah sampah, tidak mengomposkan sampah tetapi langsung membuangnya di bak sampah. Perilaku ini masih bisa ditoleransi bahkan sudah bagus karena mau membuang sampah di bak sampah, baik di bak depan rumah maupun di TPS.
Mulut buaya?
Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya?
Kejadian ini bisa menimpa sampah dan warga di Kota Bandung lantaran pembatalan
PLTSa bukan karena jenis teknologinya melainkan alasan persekongkolan.
Pilihan kata ini digunakan tentu bukan
tanpa alasan. Dalam makna negatif, kata ini menjelaskan bahwa kebijakan yang
diambil pemerintah kota dan perusahaan penyedia jasa masuk ke dalam ranah cacat
hukum. Berbeda dengan kata persyarikatan yang konotasinya positif. Jelas sudah,
potensi kebangkitan PLTSa dalam “jubah” baru masih ada dan bahkan bisa menguat
daripada sebelumnya. Akankah peribahasa “lepas dari mulut harimau, masuk ke
mulut buaya” terjadi dalam kasus PLTSa?
Sejak awal pemerhati dan pegiat lingkungan
serta warga di sekitar calon lokasi PLTSa menolak rencana pembangunan pabrik
sampah. Alasannya adalah prinsip kehati-hatian (precautionary principle)
terhadap teknologi yang terbukti banyak gagal di berbagai negara.
Tchobanoglous, pakar persampahan di Universitas California, Amerika Serikat
menyatakan, “unfortunately, few of the full-scale plants that have been
built have proved to be successful. Although economic has been the major reason
for their demise, some energy-conversion plants have failed because of
technical difficulties. “
Tak hanya masalah finansial dan biaya operasi – perawatan, tetapi juga karena alasan teknis teknologis. Belum lagi kajian komposisi dan karakteristik sampah Bandung yang mayoritas berbahan organik dan sangat basah dalam makna harfiah. Dengan landasan komposisi dan karakteristik ini maka penanganan yang cocok ialah konversi sampah menjadi pupuk berbasis kegiatan di sumber sampah, yaitu rumah tangga, TPS (TPS3R), TPST. Dipahami bahwa jauh lebih banyak warga yang tidak memilah sampah, tidak mengomposkan sampah tetapi langsung membuangnya di bak sampah. Perilaku ini masih bisa ditoleransi bahkan sudah bagus karena mau membuang sampah di bak sampah, baik di bak depan rumah maupun di TPS.
Bersamaan dengan itu pemerintah hendaklah
menghidup-hidupkan sentra composting dan 3R (reuse, reduce, recycle) lantaran
perubahan sikap dan perilaku membutuhkan waktu. Pendidikan tentang bahaya dan manfaat
sampah wajib dilaksanakan, seberat apapun tantangannya. Hasilnya akan tampak
pada masa depan, satu atau dua generasi ke depan, tidak instan. Sebaliknya,
insinerator justru membuat malas warga dan tidak berupaya berbuat positif
terhadap sampah masing-masing. Tiada tanggung jawab dan cenderung
menggampangkan dengan menyerahkan urusan sampah kepada pemerintah. Padahal
spirit UU no. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah justru ingin
memberdayakan masyarakat penimbul sampah dengan pola berbasis masyarakat dan
institusi. Warga diberikan ilmu dan tatakelola sampah sedangkan pemerintah
lewat institusinya memberikan dukungan operasional di sumber, TPS, TPS3R, TPST,
transportasi dan TPA (sanitary landfill atau controlled fill).
Ada pertanyaan, apa kabar Mulok Pendidikan
Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah-sekolah kita? Mati surikah? Kapan Wali Kota
Bandung membuat festival mulok? Di banyak daerah sudah muncul hasil positif
pengelolaan sampah. Mengacu pada data Kementerian PUPR hingga medio 2016 ini,
ada 508 unit TPS3R, 4 unit TPST, dan 591 hektar TPA sampah di 247 kabupaten -
kota yang dinilai positif. Limapuluh TPA di antaranya sudah bisa panen gas
metana sebagai sumber energi. Fasilitas ini melayani tak kurang dari 35 juta
orang di Indonesia. Bagaimana di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Bandung Barat, dan kabupaten-kota lainnya di Provinsi Jawa Barat?
"Back to basic?"
Kembalikan sampah ke asalnya, yaitu tanah. Yang
organik tentu lebih cepat diurai dibandingkan dengan sampah anorganik. Bentuk,
ukuran, dan jenis zat kimia penyusun material anorganik tentu mempengaruhi
kemampuan bakteri dalam “memakan” sampah. Craddle to grave, istilah ini bisa
dipinjam sebagai metode “membumikan sampah” di sanitary landfill. Pengomposan
juga adalah upaya untuk mengembalikan sampah ke asalnya. Adapun PLTSa lebih
mengarah pada pembakaran sampah, mengubah massanya menjadi residu yang nirguna
dan timbul polusi udara akibat partikulat dan dioksin. Kelayakan ekonominya
juga dipertanyakan, seperti sindiran Tchobanoglous di atas, selain
kegagalan teknis – teknologis.
Dampak PLTSa adalah pada manusia, hewan dan
tumbuhan. P (people) adalah manusia yang terdampak, merusak kesehatan akibat
karbon dan gas hasil pembakarannya. L adalah landfill, sebagai sarana pengubur
sampah, baik anerobik maupun aerobik. Ini serupa dengan proses pembusukan
alamiah hewan dan vegetasi yang mati. T adalah treatment, yaitu mengolah sampah
menjadi produk baru yang bermanfaat, menjadikannya benda baru yang memiliki
nilai ekonomi setara atau lebih tinggi daripada benda aslinya. Sa adalah
safety, yaitu keamanan dalam penerapan teknologi, ramah terhadap air, udara dan
tanah. Keramahan inilah yang ujungnya akan ramah pada manusia, tidak
menimbulkan bencana lingkungan.
Sungguh elok apabila pemerintah Kota
Bandung melupakan pabrik pembakaran sampah ini dan menggantinya dengan kegiatan
pemberdayaan masyarakat. Manfaatkan TPS3R yang sudah ada, memberdayakan
pengomposan, dan menambah biodigester
skala medium plus operator andal dan terlatih. Sebagai kota besar dengan
warga terdidik, Bandung seharusnya mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat
dalam membuang sampah. Mulok PLH sudah ada, lantas kenapa tidak diupayakan
menjadi lebih baik? Adakan program pelatihan, penyuluhan di sekolah termasuk
memanfaatkan media sosial. Gerakan massal ini akan berdampak positif kalau
terus menerus disosialisasikan, langsung maupun lewat media sosial seperti
Facebook, WA, Instagram dan Youtube.
Generasi muda sebagai sasaran didik untuk masa
depan lebih mudah dijangkau dan diberikan pemahaman tentang sampah, baik bahaya
maupun manfaatnya. Jadi, tak ada lagi alasan untuk berkutat dalam PLTSa.
Katakan saja: sayonara PLTSa.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan pemikiran anda dituliskan !!